Jumat, 13 Januari 2012

PRASANGKA DAN DISKRIMINASI TERHADAP ETNIS TIONGHOA


Oleh: Thung Ju Lan 
                Isu terpenting yang perlu dibahas di sini apabila kita berbicara tentang prasangka dan diskriminasi adalah stereotyping., yaitu suatu kecendercina-3.jpgungan untuk mengidentifikasi dan mengeneralisasi setiap individu, benda dan sebagainya ke dalam katagori-katagori yang sudah dikenal. Stereotyping terhadap warga etnis Tionghoa di Indonesia, seperti yang kita semua telah ketahui, mempunyai akar sejarah yang panjang karena katagori-katagori yang kita kenal itu pada awalnya dibuat pada masa pemerintahan kolonial Belanda, walaupun setelah itu masih terjadi proses modifikasi yang terus-menerus sampai hari ini. 
Ada beberapa katagori dasar yang bisa kita diskusikan di sini. Pertama, katagori ‘asing’ yang melekat pada penggolongan warga etnis Tionghoa — bersama-sama warga etnis Arab dan India –sebagai golongan Timur Asing. Katagori ini menempatkan warga etnis Tionghoa sebagai orang yang berasal dari luar atau pendatang yang berbeda dengan penduduk asli (yang oleh Belanda dikatagorikan sebagai Inlanders). Itu sebabnya mengapa sampai hari ini kita masih menghadapi persoalan asli versus pendatang, walaupun sebagian dari kita sudah berbicara tentang kewarganegaraan, tentang hak-hak yang sama dari setiap warganegara. Contoh yang paling jelas yang menggambarkan hal ini adalah penggunaan kata huaqiao atau Huakiao, yang artinya Orang Cina (di) Perantauan atau dalam bahasa Inggris Overseas Chinese, untuk mengacu kepada orang-orang Tionghoa di Indonesia, walaupun yang bersangkutan sudah menjadi warganegara Indonesia. Sesungguhnya ada istilah lain yang diperkenalkan oleh Lie Tek Tjeng di tahun 1970an, yaitu istilah Huaren yang diartikan sebagai Keturunan Cina atau Chinese descent. Pengertian ini pun sekarang menjadi problematik karena bukankah warga Indonesia lainnya juga merupakan keturunan, keturunan Batak, keturunan Sunda, keturunan Ambon, dan sebagainya. Sekarang ada yang mulai memperkenalkan istilah warganegara Indonesia-Tionghoa yang dianggap cukup netral dan bisa diterima, paling tidak oleh warga etnis Tionghoa yang terpelajar, akan tetapi penggunaan istilah ini masih belum meluas kepada berbagai kalangan, termasuk media massa. 
                Katagori yang kedua berkaitan dengan jenis pekerjaan yang umumnya digeluti warga etnis Tionghoa yang sejak semula cenderung ke arah perdagangan. Persoalan inilah yang membawa bias pandangan tentang warga etnis Tionghoa sebagai ‘economic animal’ yang seringkali kita dengar ketika pekerjaan yang mereka lakukan meluas pula ke bidang-bidang kegiatan ekonomi yang lain, seperti manufaktur dan jasa.  Pandangan yang menganggap keahlian berbisnis sebagai salah satu karakteristik yang berhubungan dengan gen dan kultur warga etnis Tionghoa adalah salah satu turunan dari bias tersebut. Begitu juga dengan pandangan tentang jaringan bisnis orang Tionghoa yang sangat kuat dan tertutup, padahal  ketertutupan tersebut sekarang sudah mengalami perubahan. Apabila di masa lalu jaringan bisnis orang Tionghoa dibangun atas dasar kelompok-kelompok dialek seperti Hokkian, Hakka, Tiochiu, Hokchia, dan sebagainya, saat ini jaringan bisnis yang kita temui di kota-kota besar Indonesia seperti Jakarta lebih didasarkan atas kesamaan profesi atau kesamaan pengalaman pendidikan, sehingga apa bisa kita amati jaringan itu sesungguhnya telah meluas kepada warga Indonesia non-Tionghoa, walaupun masih dalam jumlah yang kecil dan terbatas pada kelas-kelas sosial tertentu. Dengan kata lain, sulit untuk mengatakan  bahwa ketertutupan suatu jaringan bisnis adalah karena solidaritas etnis ataukah akibat perbedaan kelas.
                Katagori ketiga mengacu pada persoalan orientasi politik yang berkaitan dengan asal-usul warga etnis Tionghoa yang dihadapkan dengan kepentingan penguasa kolonial Belanda atas subyeknya (dalam hal ini warga etnis Tionghoa), dan dengan isu nasionalisme Indonesia yang sedang bertumbuh saat itu. Sampai hari ini persoalan orientasi politik ini selalu menjadi masalah yang mengganjal dalam sikap penerimaan warga Indonesia lainnya atas status warga etnis Tionghoa sebagai Warganegara Indonesia yang disahkan oleh undang-undang (melalui kepemilikan SBKRI). Keraguan terhadap kesetiaan warga etnis Tionghoa kepada negara-bangsa Indonesia ini adalah salah satu bentuk prasangka yang masih belum bisa terhapuskan. Keraguan ini kian diperkuat oleh peristiwa tahun 1965 yang dikenal sebagai peristiwa G-30-S/PKI yang diduga didalangi oleh pemerintah RRC. Kecurigaan terhadap orang Tionghoa sebagai ‘koloni kelima’ yang selalu bisa dimanfaatkan oleh RRC, dan ketakutan terhadap kemungkinan bersatunya semua orang Tionghoa didunia yang pernah diserukan di Hongkong pada tahun 1990an oleh para pengusaha asal etnis Tionghoa dari berbagai negara, adalah dua dari prasangka-prasangka yang masih ada di dalam pikiran sebagian warga Indonesia non-Tionghoa sampai hari ini, sehingga sepertinya sulit sekali untuk bisa melihat bahwa banyak juga warga etnis Tionghoa yang bisa setia kepada negara-bangsa Indonesia.
                Katagori yang keempat berkaitan dengan perbedaan budaya, bahwa kebudayaan Tionghoa yang bersumber pada kebudayaan leluhurnya di RRC dianggap tidak pernah bisa bertemu dengan kebudayaan mayoritas warga Indonesia yang beragama Islam, khususnya dalam hal-hal yang berkaitan dengan makanan yang mengandung babi yang amat tabu bagi Muslim serta pemujaan leluhur yang dianggap menyalahi ajaran agama Islam. Kenyataan bahwa sudah banyak warga etnis Tionghoa tidak bisa berbahasa Tionghoa lagi, di samping semakin besarnya jumlah mereka yang menjadi Kristen atau Islam, nampaknya tidak bisa mengubah pandangan umum tentang perbedaan budaya ‘yang besar’ antara warga etnis Tionghoa dan warga Indonesia lainnya. Kawin campur yang jumlahnya semakin banyak pun nampaknya masih tidak bisa menjembatani perbedaan budaya tersebut. Dengan kata lain, pandangan bahwa ‘orang Tionghoa itu berbeda’ selalu dipertahankan dengan mengabaikan adanya perubahan waktu dan ruang, atau kenyataan bahwa segala sesuatu di dunia ini bisa berubah.
Sejauh stereotype atau prasangka ini hanya berada dalam pikiran dan sikap, bukan pada tindakan nyata, maka hal tersebut masih belum bisa dikatagorikan sebagai  persoalan diskriminasi. Suatu tindakan dikatakan sebagai tindakan yang diskriminatif ketika katagori-katagori pembeda yang dibuat atas dasar sterotyping dan prasangka di atas dipergunakan untuk menghalangi para anggota kelompok yang digolongkan ke dalam katagori-katagori berbeda itu untuk mendapatkan hak yang sama dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidup. Oleh karena itu, persoalan dikriminasi, walaupun terkait erat dengan masalahstereotyping dan prasangka, mempunyai karakteristik yang berbeda. Pada prakteknya, tindakan diskriminasi menyangkut power atau kekuasaan untuk bisa memaksakan penerapan katagori-katagori pembeda tersebut dalam kehidupan nyata. Kekuasaan ini tidak selalu terkait dengan kekuasaan negara, walaupun kekuasaan yang terbesar memang dimiliki negara.
                Tindakan diskriminatif yang dilakukan oleh negara terealisir melalui peraturan-peraturan resmi yang dibuat pemerintah yang berkuasa. Seperti kita ketahui ada sejumlah peraturan diskriminatif yang dibuat pemerintah Orde Baru sejak tahun 1967, dari pelarangan mempertunjukkan ritual dan  kebudayaan Tionghoa di tempat-tempat umum, pelarangan mendirikan sekolah dan penerbitan berbahasa Tionghoa, sampai kepada anjuran untuk mengganti nama dan berasimilasi. Ini belum termasuk peraturan-peraturan diskriminatif yang berlaku secara terbatas dalam bidang-bidang tertentu, seperti perbankan dan ekspor-impor. Walau ada peraturan yang sudah dicabut oleh pemerintahan Abdurahman Wahid, yaitu peraturan mengenai pelarangan kebudayaan, namun masih banyak yang tetap berlaku sampai hari ini. GANDI, SNB bersama-sama dengan PSMTI dan INTI sedang memperjuangkan pencabutan peraturan-peraturan yang diskriminatif tersebut, antara lain dengan mengajukan RUU Kewarganegaraan yang baru.
Sementara itu, tindakan diskriminatif oleh orang per orang ataupun kelompok tertentu dilakukan melalui berbagai cara, dari yang terbuka sampai yang sangat halus dan tidak kentara. Sulit untuk melacak hal ini karena, tidak seperti diskriminasi yang dilakukan pemerintah, tindakan diskriminatif perorangan atau kelompok tidak selalu didukung oleh peraturan tertulis. Tapi kalau kita dengar tentang adanya pengkuotaan perekrutan mahasiswa etnis Tionghoa di universitas negeri atau tentang lebih besarnya biaya lingkungan yang dibayar warga etnis Tionghoa dibanding warga Indonesia lainnya, jelas tindakan diskriminatif memang dipraktekkan di berbagai bidang kehidupan. Tetapi dimulai oleh siapa dan bagaimana caranya sampai hal itu terinstitutionalisasikan, tidak ada yang bisa menjawab secara pasti. Akan tetapi, persoalan kita di sini, bukan siapa yang mendiskriminasi, melainkan kenyataan adanya tindakan diskriminatif yang dikenakan kepada kelompok etnis tertentu dan apa yang bisa dilakukan untuk mengubahnya. Hal inilah yang perlu kita diskusikan di sini
                Seperti yang telah diuraikan di atas, persoalan diskriminasi terkait erat dengan masalah katagori-katagori pembeda yang dibuat atas dasar stereotyping dan prasangka. Secara sederhana bisa diasumsikan bahwa apabila kita bisa mengubah stereotipe dan prasangka yang ada, maka kita pun bisa menghapuskan, atau paling tidak, mengubah dampak dari katagori-katagori pembeda yang dibuat atas dasar stereotype dan prasangka tersebut. Upaya untuk mengubah stereotipe atau prasangka terhadap warga etnis Tionghoa sudah dimulai sejak terjadinya peristiwa tragis Mei 1998. Melalui berbagai tulisan dan diskusi publik yang diselenggarakan oleh berbagai kalangan, sudah semakin banyak stereotipedan prasangka yang dicoba untuk diluruskan. Misalnya, penayangan kehidupan orang Tionghoa Singkawang yang kurang mampu nampaknya dimaksudkan untuk mengkoreksi pandangan umum yang selalu menggambarkan orang Tionghoa sebagai orang-orang yang kaya.
                Dalam upaya koreksi tersebut, persoalannya menjadi agak rumit ketika media massa, atau orang-orang yang bekerja di media massa sendiri mempunyai stereotipe atau prasangka terhadap warga etnis Tionghoa. Stereotipe atau prasangka tersebut dipengaruhi oleh latar belakang keluarga dan pendidikan dari yang bersangkutan.  Pengalaman pribadi yang buruk biasanya sulit untuk dikoreksi, berbeda dengan apabila hanya pengetahuan yang bersangkutan  yang kurang. Namun apapun permasalahannya, yang terpenting adalah adanya kesediaan dari yang bersangkutan sendiri untuk bersikap terbuka terhadap segala hal yang baru. Keterbukaan ini penting karena hanya dengan keterbukaanlah baru yang bersangkutan bisa mempunyai kepekaan terhadap tindakan diskriminatif.
Salah satu tindakan diskriminatif dalam pemberitaan media massa yang paling dikritik adalah pelabelan yang dilakukan tanpa berdasarkan bukti-bukti yang akurat. Misalnya, tentang ‘keekslusifan’ warga etnis Tionghoa. Sebenarnya sulit untuk mengukur suatu keekslusifan, tetapi seperti kita ketahui, banyak orang menggunakan kata tersebut untuk berbagai hal yang dianggap ‘eksklusif’ atas dasar penilaian pribadi. Sebagai contoh, keekslusifan dilihat dari ‘tidak mau bergaul’, ‘pagar yang tinggi’, ‘jaringan bisnis yang tertutup’, ‘tempat tinggal yang terkonsentrasi di satu wilayah tertentu’, ‘memakai bahasa yang tidak dimengerti orang lain’, dan sebagainya. Sesungguhnya, apabila kita renungkan dengan baik, maka berbagai hal yang dinilai merupakan keeksklusifan orang Tionghoa tersebut ternyata bisa pula ditemukan pada warga etnis lainnya. Dalam hal inilah kepekaan terhadap setiap hal yang kita temukan dalam hidup ini menjadi sangat penting, karena tidak semua hasil observasi, atau apa yang kita lihat dan kita dengar, merupakan kebenaran.
Banyak hal yang bisa dikemukakan sebagai pelabelan yang cenderung diskriminatif, tetapi dalam diskusi kali ini saya pikir cukup apabila kita bisa menyadari bahwa selanjutnya kita perlu berhati-hati dalam melabel seseorang atau sekelompok orang dengan sesuatu yang sulit diukur kebenarannya.