MELIHAT kenyataan yang ada pada
saat ini, terasa sangat sukar untuk menentukan jalan yang terbaik bagi
perkembangan arsitektur. Begitu hebatnya arsitektur, meluncur secara cepat
dengan gaya dan bentuk-bentuk barunya, mencoba menerjang arsitektur yang ada di
negara kita. Sebaliknya, para arsitek kita (tidak semuanya) mencoba mengangkat
dirinya sejajar arsitek besar semacam Le Corbusier, Frank Llyod Wright, Mies
van der Rohe, dan sebagainya.
Usaha untuk mencari identitas nasional saat ini mulai berkembang, tidak hanya
pada masalah kepribadian manusia tetapi juga arsitektur bangunannya. Bahkan
Gubernur Jawa Tengah Ismail pada waktu itu, memerintahkan agar atap Rumah Sakit
Prof. Margono Sukardjo di Purwokerto diubah atapnya menjadi atap joglo,
sedangkan bangunan itu mempunyai gaya arsitektur Yunani, sungguh berani
kebijakan Gubernur tersebut (Tempo 1 September 1984). Pada hal permasalahan
yang nampak di sini adalah masalah arsitektur bukan masalah sosial dan
kepribadian lagi, tapi karakter yang nantinya akan selalu dibawa oleh bangunan
itu sesuai dengan bentuk dan fungsinya. Perancangan bangunan saat ini bukan
memodernisir arsitektur, arsitektur adalah pemecah masalah. Di samping itu,
juga ada unsur-unsur bentuk, pola, gaya, karakter, filosofi, dan sebagainya.
Kalau kita
lihat sejenak akan perkembangan arsitektur di Indonesia dewasa ini, maka sudah
banyak bermunculan bangunan dengan corak dan ragamnya. Bentuk-bentuk spanyolan
dengan kolom-kolom korintian bermunculan di kota-kota besar dan pelosok-pelosok
desa, bahkan rumah-rumah BTN-pun yang mungkin masa pembayarannya belum lunas
dirombak besar-besaran untuk diganti dengan model spanyolan. Sebagian besar
bentuk spanyolan masih berfungsi dalam pengertian yang tidak lengkap, mungkin
kita bisa bertanya dalam hati, dari mana jalurnya?
Belum
terlihat adanya penafsiran tentang ruang hidup dalam sebuah rumah tinggal, pada
umumnya memang sulit karena tidak meratanya kebiasaan hidup pada masyarakat
Indonesia. Di kota-kota besar, sejumlah rumah sudah mengikuti konsep Corbusier,
namun kadang-kadang masih juga terganggu oleh kebiasaan-kebiasaan yang tidak
biasa diterapkan di situ. Paling parah dari arsitektur rumah tinggal ini adalah
caranya berkembang dan pertumbuhan coraknya. Hampir semua arsitek mengeluh
karena tempatnya tidak karuan, bentuknya yang campur aduk.
Pembaruan dari konsep perancangan bukan berarti pembauran komponen bangunan
yang hanya mengambil komponen dari berbagai macam langgam lain, maka akan
menjurus pada “arsitektur eklektis”.
Arsitektur hadir sebagai hasil persepsi
masyarakat yang memiliki berbagai kebutuhan. Untuk itu, arsitektur adalah wujud
kebudayaan yang berlaku di masyarakatnya, sehingga perkembangan arsitektur
tidak dapat dipisahkan dari perkembangan kebudayaan masyarakat itu sendiri.
Pada saat ini, ketika perkembangan budaya dan peradaban sudah sedemikian maju,
maka perkembangan arsitektur – terutama di Indonesia – nampak berjalan mulus
tanpa ada saringan yang cenderung menghilangkan jatidiri.
Arsitek sebagai salah satu penentu
arah perkembangan arsitektur di Indonesia dituntut untuk lebih aktif berperan
dalam menentukan arah dengan pemahaman terhadap nilai dan norma yang hidup di
masyarakat sebagai tolok ukurnya. Selain itu, diperlukan pula kreativitas untuk
menjabarkan rambu-rambu tradisional – sebagai suatu konsep yang telah lama
dimiliki masyarakat – ke dalam bentuk-bentuk yang akrab dengan lingkungan dan
mudah dicerna apa makna serta pesan yang akan disampaikan.
Pada saat ini terasa sulit
membedakan mana karya yang baik dan cocok untuk Indonesia, karena perkembangan
arsitektur cenderung mengarah pada gaya ‘internasional’ yang tidak mempunyai
‘jati diri indonesiawi’-nya.
SUMBER :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar