Arsitektur adalah seni dan ilmu dalam merancang bangunan. Dalam artian yang lebih luas, arsitektur mencakup merancang dan membangun keseluruhan lingkungan binaan, mulai dari level makro yaitu perencanaan kota, perancangan perkotaan, arsitektur lansekap, hingga ke level mikro yaitu desain bangunan, desain perabot dan desain produk. Arsitektur juga merujuk kepada hasil-hasil proses perancangan tersebut.
Bangunan adalah produksi manusia
yang paling kasat mata. Namun, kebanyakan bangunan masih dirancang
oleh masyarakat sendiri atau tukang-tukang batu di negara-negara berkembang,
atau melalui standar produksi di negara-negara maju. Arsitek tetaplah tersisih
dalam produksi bangunan.
Keahlian arsitek hanya dicari dalam pembangunan tipe bangunan yang rumit, atau bangunan yang memiliki
makna budaya / politis yang penting. Dan inilah yang diterima oleh masyarakat
umum sebagai arsitektur. Peran arsitek, meski senantiasa berubah, tidak pernah
menjadi yang utama dan tidak pernah berdiri sendiri.
Arsitektur tradisional adalah
suatu bangunan yang bentuk,struktur ,fungsi,ragam hias dan cara
pembuatannya diwariskan secara turun temurun serta dapat di pakai untuk
melakukan aktivitas kehidupan dengan sebaik-baiknya. Dalam rumusan
arsitektur dilihat sebagai suatu bangunan, yang selanjutnya dapat berarti
sebagai suatu yang aman dari pengaruh alam seperti hujan, panas dan lain
sebagainya. Suatu bangunan sebagai suatu hasil ciptaan manusia agar terlindung
dari pengaruh alam, dapatlah dilihat beberapa komponen yang menjadikan bangunan
itu sebagai tempat untuk dapat melakukan aktivitas kehidupan dengan
sebaik-baiknya.
Ciri Arsitektur Tradisional
Mengingat norma, kaidah, dan
tata nilai dalam masa kini masih banyak kemungkinan berubah maka dalam usaha
mencari identitas budaya yang dapat diterapkan pada bangunan baru disarankan
sebagai berikut. Arsitektur yang mempunyai identitas yang sedikit atau tidak
dipengaruhi oleh perubahan norma tata nilai. Ciri-ciri ini dalam Arsitektur Tradisional
untuk diterapkan pada bangunan baru.
Iklim merupakan factor yang
tidak berubah (relative) Indonesia beriklim tropis panas dan lembap. Karena
letaknya di sekitar khatulistiwa antara garis-garis lintang utara dan selatan
maka sepanjang tahun sudut jatuhnya sinar matahari tegak lurus, hal mana
mengakibatkan suhu yang selalu panas. Ciri Arsitektur Tradisional yang
berkaitan dengan iklim yang panas misalnya atap yang mempunyai sudut yang tidak
terlalu landai.
Disamping itu ruang-ruang yang
terbuka, dimana dinding tidak menutup rapat ke bidang bawah atau lanmgit-langit
memungkinkan ventilasi yang leluasa, hal mana mempertinggi comfort dalam ruang.
Dinding atau bidang kaca yang berlebihan, apalagi tidak di lindungi terhadap
sinar matahari langsung, dan hujan tidak sesuai untuk iklim tropis.
Kita sering menggunakan air
conditioning untuk ruang-ruang yang jika direncanakan dengan tepat
sebenarnya tidak memerlukannya. Energy yang diperlukan untuk air conditioning
cukup besar. Dalam Negara yang sedang menganjurkan hemat energy, hendaknya
penggunaan air conditioning juga dibatasi. Rumah Tradisional Jawa dan Bali
merupakan open air habitation.
Di negeri ini istilah "Arsitektur Nusantara" pernah menjadi sangat asing, karena di Indonesia pandangan tentang arsitektur sebagai keilmuan mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Dari semula mewarisi pandangan pendidikan arsitektur kolonial Belanda “bouwkunde” (ilmu bangunan gedung —yang di masa lalu, bahkan sering disempit-artikan sebagai struktur, konstruksi, gedung atau bouw), beranjak-ingsut ke pandangan yang melihat arsitektur sebagai “ilmu perancangan lingkungan binaan”. Meski demikian, tampaknya sekarang arsitektur cenderung dimasukkan sebagai objek kajian yang berdimensi lebih kompleks dan berskala lebih luas daripada sekedar “ilmu perancangan bangunan tunggal” atau ilmu tentang ”seni bangunan”. Muncul berbagai pradigma keilmuan baru dari yang sangat kultural sampai ke yang sangat saintifik.
Ketika makin banyak keberagaman etnografis yang ditemukan pada ciri arsitektur di Indonesia dan di negeri-negeri tetangga, maka pemahaman “Nusantara” dalam kajian arsitektur pun mengalami kontekstualisasi: dari sebuah “wilayah politik” berkonotasi “Indonesia” menjadi “ruang budaya”, tergelar luas dari Barat ke Timur mulai dari negeri-negeri Asia Tenggara daratan, Aceh sampai dengan kepulauan di Timur Papua; dari Utara ke Selatan mulai dari Kepulauan Jepang sampai kompleks Pulau Rote. Jauh lebih luas daripada ”pengertian tradisional” batas wilayah politik Indonesia.
Karena itu, diperlukan pendekatan tersendiri untuk memahami keadaan dan karakteristik budaya arsitektur Nusantara dalam rentang waktu yang panjang. Dalam hal ini tampaknya ”ruang budaya” mempunyai peluang yang cukup luas untuk menguak kembali kesatuan kebudayaan arsitektural di wilayah ini. Kesatuan kebudayaan arsitektural, yang seyogyanya dipandang tetap terdiri dari satuan-satuan individu yang tak boleh kehilangan lokalitas atau kesetempatannya.
Pergeseran pandangan pun terjadi pada tataran epistemologi. Menyusuli keterbukaan kalangan arsitek akademis di Eropa dan Amerika sejak awal 1970-an terhadap keberadaan arsitektur “rakyat” (vernacular architecture) yang senantiasa eksis di luar “ekonomi formal” atau “high society”, sejak lama berbagai kalangan di Indonesia pun mulai menyadari keberadaan “Arsitektur (Rakyat) Nusantara”. Ia eksis di samping suatu ragam “arsitektur industrialistik-skolastikal”, yang dibentuk di ruang rapat para petinggi keilmuan, di ruang seminar para calon doktor dan master, di bangku-bangku kuliah atau di studio para konsultan profesional.
Indonesia sendiri sebenarnya
memiliki potensi lewat karya arsitektur bangunan. Pada jaman pemerintahan
Presiden Sukarno, telah dibangun gedung-gedung seperti gedung DPR/MPR, Stadion
Senayan, Gedung Sarinah, Wisma Nusantara dan banyak lagi. Mestinya pemerintah
sekarang dapat mengelola warisan sejarah ini untuk menggerakkan ekonomi kota,
SUMBER: