Oleh: Thung Ju Lan
Isu
terpenting yang perlu dibahas di sini apabila kita berbicara tentang prasangka
dan diskriminasi adalah stereotyping., yaitu suatu kecenderungan
untuk mengidentifikasi dan mengeneralisasi setiap individu, benda dan
sebagainya ke dalam katagori-katagori yang sudah dikenal. Stereotyping terhadap
warga etnis Tionghoa di Indonesia, seperti yang kita semua telah ketahui,
mempunyai akar sejarah yang panjang karena katagori-katagori yang kita kenal
itu pada awalnya dibuat pada masa pemerintahan kolonial Belanda, walaupun
setelah itu masih terjadi proses modifikasi yang terus-menerus sampai hari
ini.
Ada beberapa katagori dasar yang bisa kita diskusikan di
sini. Pertama, katagori ‘asing’ yang melekat pada penggolongan warga etnis
Tionghoa — bersama-sama warga etnis Arab dan India –sebagai golongan Timur
Asing. Katagori ini menempatkan warga etnis Tionghoa sebagai orang yang berasal
dari luar atau pendatang yang berbeda dengan penduduk asli (yang oleh Belanda
dikatagorikan sebagai Inlanders). Itu sebabnya mengapa sampai hari ini
kita masih menghadapi persoalan asli versus pendatang, walaupun sebagian dari
kita sudah berbicara tentang kewarganegaraan, tentang hak-hak yang sama dari
setiap warganegara. Contoh yang paling jelas yang menggambarkan hal ini adalah
penggunaan kata huaqiao atau Huakiao, yang artinya Orang Cina (di)
Perantauan atau dalam bahasa Inggris Overseas Chinese, untuk mengacu
kepada orang-orang Tionghoa di Indonesia, walaupun yang bersangkutan sudah
menjadi warganegara Indonesia. Sesungguhnya ada istilah lain yang diperkenalkan
oleh Lie Tek Tjeng di tahun 1970an, yaitu istilah Huaren yang
diartikan sebagai Keturunan Cina atau Chinese descent. Pengertian ini pun
sekarang menjadi problematik karena bukankah warga Indonesia lainnya juga
merupakan keturunan, keturunan Batak, keturunan Sunda, keturunan Ambon, dan
sebagainya. Sekarang ada yang mulai memperkenalkan istilah warganegara
Indonesia-Tionghoa yang dianggap cukup netral dan bisa diterima, paling tidak
oleh warga etnis Tionghoa yang terpelajar, akan tetapi penggunaan istilah ini
masih belum meluas kepada berbagai kalangan, termasuk media massa.
Katagori
yang kedua berkaitan dengan jenis pekerjaan yang umumnya digeluti warga etnis
Tionghoa yang sejak semula cenderung ke arah perdagangan. Persoalan inilah yang
membawa bias pandangan tentang warga etnis Tionghoa sebagai ‘economic
animal’ yang seringkali kita dengar ketika pekerjaan yang mereka lakukan
meluas pula ke bidang-bidang kegiatan ekonomi yang lain, seperti manufaktur dan
jasa. Pandangan yang menganggap keahlian berbisnis sebagai salah
satu karakteristik yang berhubungan dengan gen dan kultur warga etnis Tionghoa
adalah salah satu turunan dari bias tersebut. Begitu juga dengan pandangan
tentang jaringan bisnis orang Tionghoa yang sangat kuat dan tertutup,
padahal ketertutupan tersebut sekarang sudah mengalami perubahan.
Apabila di masa lalu jaringan bisnis orang Tionghoa dibangun atas dasar
kelompok-kelompok dialek seperti Hokkian, Hakka, Tiochiu, Hokchia, dan
sebagainya, saat ini jaringan bisnis yang kita temui di kota-kota besar
Indonesia seperti Jakarta lebih didasarkan atas kesamaan profesi atau kesamaan
pengalaman pendidikan, sehingga apa bisa kita amati jaringan itu sesungguhnya
telah meluas kepada warga Indonesia non-Tionghoa, walaupun masih dalam jumlah
yang kecil dan terbatas pada kelas-kelas sosial tertentu. Dengan kata lain,
sulit untuk mengatakan bahwa ketertutupan suatu jaringan bisnis
adalah karena solidaritas etnis ataukah akibat perbedaan kelas.
Katagori
ketiga mengacu pada persoalan orientasi politik yang berkaitan dengan asal-usul
warga etnis Tionghoa yang dihadapkan dengan kepentingan penguasa kolonial
Belanda atas subyeknya (dalam hal ini warga etnis Tionghoa), dan dengan isu
nasionalisme Indonesia yang sedang bertumbuh saat itu. Sampai hari ini
persoalan orientasi politik ini selalu menjadi masalah yang mengganjal dalam
sikap penerimaan warga Indonesia lainnya atas status warga etnis Tionghoa
sebagai Warganegara Indonesia yang disahkan oleh undang-undang (melalui
kepemilikan SBKRI). Keraguan terhadap kesetiaan warga etnis Tionghoa kepada
negara-bangsa Indonesia ini adalah salah satu bentuk prasangka yang masih belum
bisa terhapuskan. Keraguan ini kian diperkuat oleh peristiwa tahun 1965 yang dikenal
sebagai peristiwa G-30-S/PKI yang diduga didalangi oleh pemerintah RRC.
Kecurigaan terhadap orang Tionghoa sebagai ‘koloni kelima’ yang selalu bisa
dimanfaatkan oleh RRC, dan ketakutan terhadap kemungkinan bersatunya semua
orang Tionghoa didunia yang pernah diserukan di Hongkong pada tahun 1990an oleh
para pengusaha asal etnis Tionghoa dari berbagai negara, adalah dua dari
prasangka-prasangka yang masih ada di dalam pikiran sebagian warga Indonesia
non-Tionghoa sampai hari ini, sehingga sepertinya sulit sekali untuk bisa
melihat bahwa banyak juga warga etnis Tionghoa yang bisa setia kepada
negara-bangsa Indonesia.
Katagori
yang keempat berkaitan dengan perbedaan budaya, bahwa kebudayaan Tionghoa yang
bersumber pada kebudayaan leluhurnya di RRC dianggap tidak pernah bisa bertemu
dengan kebudayaan mayoritas warga Indonesia yang beragama Islam, khususnya
dalam hal-hal yang berkaitan dengan makanan yang mengandung babi yang amat tabu
bagi Muslim serta pemujaan leluhur yang dianggap menyalahi ajaran agama Islam.
Kenyataan bahwa sudah banyak warga etnis Tionghoa tidak bisa berbahasa Tionghoa
lagi, di samping semakin besarnya jumlah mereka yang menjadi Kristen atau
Islam, nampaknya tidak bisa mengubah pandangan umum tentang perbedaan budaya
‘yang besar’ antara warga etnis Tionghoa dan warga Indonesia lainnya. Kawin
campur yang jumlahnya semakin banyak pun nampaknya masih tidak bisa
menjembatani perbedaan budaya tersebut. Dengan kata lain, pandangan bahwa
‘orang Tionghoa itu berbeda’ selalu dipertahankan dengan mengabaikan adanya
perubahan waktu dan ruang, atau kenyataan bahwa segala sesuatu di dunia ini
bisa berubah.
Sejauh stereotype atau prasangka ini hanya berada
dalam pikiran dan sikap, bukan pada tindakan nyata, maka hal tersebut masih
belum bisa dikatagorikan sebagai persoalan diskriminasi. Suatu
tindakan dikatakan sebagai tindakan yang diskriminatif ketika katagori-katagori
pembeda yang dibuat atas dasar sterotyping dan prasangka di atas
dipergunakan untuk menghalangi para anggota kelompok yang digolongkan ke dalam
katagori-katagori berbeda itu untuk mendapatkan hak yang sama dalam memenuhi
berbagai kebutuhan hidup. Oleh karena itu, persoalan dikriminasi, walaupun
terkait erat dengan masalahstereotyping dan prasangka, mempunyai
karakteristik yang berbeda. Pada prakteknya, tindakan diskriminasi menyangkut power atau
kekuasaan untuk bisa memaksakan penerapan katagori-katagori pembeda tersebut
dalam kehidupan nyata. Kekuasaan ini tidak selalu terkait dengan kekuasaan
negara, walaupun kekuasaan yang terbesar memang dimiliki negara.
Tindakan
diskriminatif yang dilakukan oleh negara terealisir melalui peraturan-peraturan
resmi yang dibuat pemerintah yang berkuasa. Seperti kita ketahui ada sejumlah
peraturan diskriminatif yang dibuat pemerintah Orde Baru sejak tahun 1967, dari
pelarangan mempertunjukkan ritual dan kebudayaan Tionghoa di
tempat-tempat umum, pelarangan mendirikan sekolah dan penerbitan berbahasa
Tionghoa, sampai kepada anjuran untuk mengganti nama dan berasimilasi. Ini
belum termasuk peraturan-peraturan diskriminatif yang berlaku secara terbatas
dalam bidang-bidang tertentu, seperti perbankan dan ekspor-impor. Walau ada
peraturan yang sudah dicabut oleh pemerintahan Abdurahman Wahid, yaitu
peraturan mengenai pelarangan kebudayaan, namun masih banyak yang tetap berlaku
sampai hari ini. GANDI, SNB bersama-sama dengan PSMTI dan INTI sedang
memperjuangkan pencabutan peraturan-peraturan yang diskriminatif tersebut,
antara lain dengan mengajukan RUU Kewarganegaraan yang baru.
Sementara itu, tindakan diskriminatif oleh orang per orang
ataupun kelompok tertentu dilakukan melalui berbagai cara, dari yang terbuka
sampai yang sangat halus dan tidak kentara. Sulit untuk melacak hal ini karena,
tidak seperti diskriminasi yang dilakukan pemerintah, tindakan diskriminatif
perorangan atau kelompok tidak selalu didukung oleh peraturan tertulis. Tapi
kalau kita dengar tentang adanya pengkuotaan perekrutan mahasiswa etnis
Tionghoa di universitas negeri atau tentang lebih besarnya biaya lingkungan
yang dibayar warga etnis Tionghoa dibanding warga Indonesia lainnya, jelas
tindakan diskriminatif memang dipraktekkan di berbagai bidang kehidupan. Tetapi
dimulai oleh siapa dan bagaimana caranya sampai hal itu
terinstitutionalisasikan, tidak ada yang bisa menjawab secara pasti. Akan
tetapi, persoalan kita di sini, bukan siapa yang mendiskriminasi, melainkan
kenyataan adanya tindakan diskriminatif yang dikenakan kepada kelompok etnis
tertentu dan apa yang bisa dilakukan untuk mengubahnya. Hal inilah yang perlu
kita diskusikan di sini
Seperti
yang telah diuraikan di atas, persoalan diskriminasi terkait erat dengan
masalah katagori-katagori pembeda yang dibuat atas dasar stereotyping dan
prasangka. Secara sederhana bisa diasumsikan bahwa apabila kita bisa mengubah stereotipe dan
prasangka yang ada, maka kita pun bisa menghapuskan, atau paling tidak,
mengubah dampak dari katagori-katagori pembeda yang dibuat atas dasar stereotype dan
prasangka tersebut. Upaya untuk mengubah stereotipe atau
prasangka terhadap warga etnis Tionghoa sudah dimulai sejak terjadinya
peristiwa tragis Mei 1998. Melalui berbagai tulisan dan diskusi publik yang
diselenggarakan oleh berbagai kalangan, sudah semakin banyak stereotipedan
prasangka yang dicoba untuk diluruskan. Misalnya, penayangan kehidupan orang
Tionghoa Singkawang yang kurang mampu nampaknya dimaksudkan untuk mengkoreksi
pandangan umum yang selalu menggambarkan orang Tionghoa sebagai orang-orang
yang kaya.
Dalam
upaya koreksi tersebut, persoalannya menjadi agak rumit ketika media massa,
atau orang-orang yang bekerja di media massa sendiri mempunyai stereotipe atau
prasangka terhadap warga etnis Tionghoa. Stereotipe atau prasangka
tersebut dipengaruhi oleh latar belakang keluarga dan pendidikan dari yang
bersangkutan. Pengalaman pribadi yang buruk biasanya sulit untuk
dikoreksi, berbeda dengan apabila hanya pengetahuan yang bersangkutan yang
kurang. Namun apapun permasalahannya, yang terpenting adalah adanya kesediaan
dari yang bersangkutan sendiri untuk bersikap terbuka terhadap segala hal yang
baru. Keterbukaan ini penting karena hanya dengan keterbukaanlah baru yang
bersangkutan bisa mempunyai kepekaan terhadap tindakan diskriminatif.
Salah satu tindakan diskriminatif dalam pemberitaan media
massa yang paling dikritik adalah pelabelan yang dilakukan tanpa berdasarkan
bukti-bukti yang akurat. Misalnya, tentang ‘keekslusifan’ warga etnis Tionghoa.
Sebenarnya sulit untuk mengukur suatu keekslusifan, tetapi seperti kita
ketahui, banyak orang menggunakan kata tersebut untuk berbagai hal yang
dianggap ‘eksklusif’ atas dasar penilaian pribadi. Sebagai contoh, keekslusifan
dilihat dari ‘tidak mau bergaul’, ‘pagar yang tinggi’, ‘jaringan bisnis yang
tertutup’, ‘tempat tinggal yang terkonsentrasi di satu wilayah tertentu’, ‘memakai
bahasa yang tidak dimengerti orang lain’, dan sebagainya. Sesungguhnya, apabila
kita renungkan dengan baik, maka berbagai hal yang dinilai merupakan
keeksklusifan orang Tionghoa tersebut ternyata bisa pula ditemukan pada warga
etnis lainnya. Dalam hal inilah kepekaan terhadap setiap hal yang kita temukan
dalam hidup ini menjadi sangat penting, karena tidak semua hasil observasi,
atau apa yang kita lihat dan kita dengar, merupakan kebenaran.
Banyak hal yang bisa dikemukakan sebagai pelabelan yang
cenderung diskriminatif, tetapi dalam diskusi kali ini saya pikir cukup apabila
kita bisa menyadari bahwa selanjutnya kita perlu berhati-hati dalam melabel
seseorang atau sekelompok orang dengan sesuatu yang sulit diukur kebenarannya.